Budaya Jawa Tahlilan
Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan. Hal tersebut didukung oleh beraneka ragamnya suku dan agama yang ada di Indonesia. Budaya tersebut menggambarkan seluruh aktivitas kehidupan. Kali ini saya akan menceritakan budaya Suku Jawa yang merupakan suku terbesar di negara ini.
Setahun yang lalu, kakek saya meninggal. Dia asli orang Jawa dan beragama Islam. Dihari kematiannya, tiga hari berturut-turut diadakan tahlilan. Tahlilan ini berupa pembacaan ayat-ayat al-Quran serta Surat Yasin. Tahlilan tersebut diikuti oleh warga setempat, kerabat ataupun sanak saudara tanpa ada unsur undangan ataupun ajakan dari ahli bait (tuan rumah).
Mereka datang berbondong - bondong memakai pakaian muslim dan peci (tutup kepala yang biasa digunakan untuk sholat) untuk melakukan tahlilan. Tahlilan umumnya dihadiri oleh kaum laki-laki yang sudah dewasa dan dilaksanakan setelah Sholat Isya (salah satu bagian dari sholat 5 waktu dalam ajaran islam).
Tahlilan ini dilakukan bukan hanya pada waktu 3 hari pertama secara berturut-turut, namun dilakukan juga pada hari ketujuh atau bahasa jawa menyebutnya metong dino, hari ke-40 (Matang Puluh), hari ke-100 (Nyeratos), hari ke-365 atau satu tahun (Mendak), dan hari ke-1000 (Mendak telu).
Ketika saya tanyakan tujuan dari peringatan hari-hari tersebut, saya hanya sedikit mendapatkan penjelasannya. Dikatakan oleh paman saya yaitu “Untuk penyempurnaan, manusia itu hidup di dunia kan tidak ada yang sempurna”. Jadi saya beranggapan ketika melihat acara tersebut berarti penyempurnaan yang dimaksud yaitu penyempurnaan amal ibadah. Saya kemudian bertanya kembali “emang ada dianjurkan dalam agama islam paman?” dan jawabannya “ada, dalam Al-quran dijelaskan bahwa doa anak orang soleh diterima oleh Allah SWT. Ingat, doa ANAK SOLEH, bukan harus anak kandung. Maka dari itu kita memperingati semoga para tamu /peserta tahlilan yang datang adalah anak soleh sehingga doa-doa dan ayat-ayat Al-quran yang dipanjatkan dapat menyempurnakan amal ibadah kakek. Hal itu juga disarankan dalam adat Budaya Jawa dan Sifat 20” jelas paman.
Namun ketika saya tanya lagi tentang apa itu Sifat 20, ia enggan menceritakannya. Sebab, Sifat 20 itu antara ada dan tiada. Dan saya pun tidak mau membahasnya lebih dalam.
Sejarah kenduri/kenduren
Maka saya berusaha mencari tahu lebih lanjut. Alhasil saya mendapatkan informasi sedikit tentang acara yang diadakan untuk kakek saya. Acara tersebut ternyata salah satu bagian dari kenduri. kenduri/kenduren artinya do’a bersama yang dihadiri oleh para tetangga dan dipimpin oleh pemuka agama atau yang dituakan di kampung setempat. Tujuan dari kenduri ini adalah meminta keselamatan buat yang didoakan beserta keluarganya.
Dari mana asal kenduri ini? Menurut pengamat budaya dan sejarah Agus Sunyoto dalam artikelnya (http://www.antaranews.com) bahwa budaya kenduri kematian yang dilakukan umat Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa bukan karena pengaruh Hindu atau Budha karena di kedua agama itu tidak ditemukan ajaran kenduri.
Agus menegaskan bahwa, dalam agama Hindu atau Budha tidak dikenal kenduri dan tidak pula dikenal peringatan orang mati pada hari ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100 atau ke-1.000. Catatan sejarah menunjukkan bahwa orang Campa memperingati kematian seseorang pada hari ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100 dan ke-1.000. Orang-orang Campa juga menjalankan peringatan khaul, peringatan hari Assyuro dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Mencermati fakta tersebut, maka Agus berkeyakinan tradisi kenduri, termasuk khaul adalah tradisi khas Campa yang jelas-jelas terpengaruh Faham Syi`ah.
Jika kita mau merunut sejarah, istilah kenduri itu sendiri jelas-jelas menunjuk kepada pengaruh Syi`ah karena dipungut dari bahasa Persia, yakni Kanduri yang berarti upacara makan-makan memperingati Fatimah Az Zahroh, puteri Nabi Muhammad SAW.
Fenomena sublimasi nilai ritual dan budaya ini jika ditinjau dari aspek sosio-historis adalah dikarenakan munculnya tradisi kepercayaan di Nusantara ini banyak dipengaruhi oleh pengungsi dari Campa yang beragama Islam. Peristiwa yang terjadi pada rentang waktu antara tahun 1446 hingga 1471 masehi itu rupanya memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi terjadinya perubahan sosio-kultural religius di Majapahit khususnya dan di pulau Jawa pada umumnya.
Hal ini bisa dilacak melalui contoh kebiasaan orang Campa yang memanggil ibunya dengan sebutan “mak”, sedangkan orang-orang Majapahit kala itu menyebut “ibu” atau “ra-ina”. Di Surabaya dan sekitarnya, tempat Sunan Ampel menjadi raja, masyarakat memanggil ibunya dengan sebutan “mak”. Pengaruh kebiasaan Campa yang lain terlihat pula dalam cara orang memanggil kakaknya atau yang lebih tua dengan sebutan “kang”, sedangkan orang Majapahit kala itu memanggil dengan sebutan “raka”. Untuk adik, orang Campa menyebut “adhy”, sedangkan di Majapahit disebut “rayi”.
Pada dasarnya ada perbedaan diantara pengaruh muslim Cina dengan Campa di masa-masa akhir kejayaan kerajaan Majapahit atau di era Wali Songo. Muslim Campa selama proses asimilasi melebur dengan penduduk setempat, hingga watak Campanya hilang dan berbaur dengan kejawaan. Sedangkan muslim Cina masih cukup kuat menunjukkan eksistensi kecinaannya sampai beberapa abad.
Itulah gambaran singkat tentang sejarah kenduri. Saya menulis ini karena rasa keingintahuan dan kecintaan saya akan budaya Indonesia. harapan saya dengan ini budaya tersebut tetap terjaga. Dan kata terakhir semoga tulisan ini bermafaat bagi kawan-kawan yang membacanya. Amin.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar