Senin, 13 Mei 2013

Mengejar sang fajar di Gunung Sibayak

Fajar di Gunung Sibayak yang diselimuti oleh kabut

Suasana wekend selalu penuh dengan keceriaan dan rencana perjalanan. Begitu lah yang aku alami setiap wekend tiba. Karena Indonesia merupakan surga bagi para pencinta traveller. Kali ini aku akan menceritakan perjalanan menikmati udara dingin pegunungan untuk menyaksikan sang fajar terbit.
Mobil bus meraung dijalanan yang mendaki, dari balik jendela sepasang mata sedang menatap jalanan berliku. Harapan dan angan - angan tergambar diatas kepala. Pendakian ke gunung ini bukan untuk yang pertama kalinya dilakukan. Dan yang pasti bukan hanya satu cerita yang dapat diceritakan.
Bayangan dan angan - angan tersebut muncul karena pertama kalinya perjalanan dilakukan melanggar estetika pendakian. Suatu hal yang tidak sewajarnya dilakukan hanya untuk mencari kesenangan belaka. Bukan hal yang bersifat fital ataupun mendesak.

Peregangan tubuh sebelum melakukan pendakian
13 orang muda - mudi yang kebanyakan pemula dalam kegiatan pendakian sedang melakukan pemanasan. Aktivitas mereka menarik perhatian para pengguna jalan karena dilakukan di pinggir jalan. Penatapan (Lokasi wisata untuk melihat pemandangan alam Sibolangit) menjadi titik awal start pendakian.
Terdapat tiga jalur untuk melakukan pendakian Gunung Sibayak. Jalur yang umum yaitu Jalur Pariwisata, jalur yang titik startnya dari Desa Jaranguda (Pajak Buah Berastagi), yang kedua Jalur Tangga, yang titik startnya dilakukan dari Desa Semangat Gunung atau pemandian alam air panas Sidebuk - debuk. Dan yang ketiga yaitu jalur 54 yaitu jalur yang dimulai dari titik start KM 54 Medan - Berastagi atau tepatnya di Desa Doulu.
Kami memilih jalur 54. Jalur ini merupakan jalur yang cukup menarik untuk melakukan pendakian. selain jalurnya yang melewati hutan alami, treknya juga tidak begitu terjal. Butuh waktu empat sampai lima jam untuk melakukan pendakian secara normal.
Pendakian dilakukan pukul 15.00 WIB, tim berjumlah 14 orang yang terdiri dari 7 laki-laki dan 7 perempuan. Peranku disini hanya sebagai pendamping untuk mengawasi sang penunjuk jalan.
Pendakian dilakukan cukup lambat, namun mereka terus berjalan secara konstan. Sebelum mencapai shelter (titik/tempat peristirahatan) satu, ada satu orang di diantara pendaki balik ke titik start dikarenakan hpnya tertinggal di post lalulintas tempat ia mengisi ulang hpnya.
Setibanya ia kembali dengan kondisi hp yang masih ada, kami melanjutkan perjalanan kembali. Satu persatu tim mulai merasa letih. Disinilah aku mulai menanamkan nikmatnya mendaki gunung. “Mari kita nimati suasana ini, pepohonan yang besar nan rimbun, kondisi yang tenang karena tidak ada klakson, udara sejuk dan beberapa kicauan burung serta mamalia yang saling sahut-sahutan. Suasana seperti ini tak akan didapatkan di perkotaan sana”.
“Bukankah ini kehendak kita untuk mendaki gunung, pemandangan dipuncak adalah bonus bagi orang yang beruntung. Sebab tak selamnya pemadangan dipuncak selalu indah. Bila kabut ataupun hujan datang, tak ada lagi yang bisa dinikmati. Jadi, lebih baik kita nikmati suasana perjalanan ini”. Ucapku kepada mereka. belum merasa yakin, aku kembali berusaha memotivasi mereka. “Lihat ekspresi dari raut wajah teman- teman kalian, lucu bukan. Kebersamaan, pershabatan, konflik, ataupun tindakan - tindakan konyol kalian ini akan menjadi pengalaman yang menarik untuk diceritakan nantinya”
Tak lama kemudian, semangat mereka pun datang kembali. Tak ada lagi raut wajah musam ataupun mengeluh. Senyuman dan tawa riang mulai terlihat diwajah mereka. sangking semangatnya pemandu jalan didepan yang juga masih belajar karena baru pertama kali naik ke gunung ini tidak menyadari bahwa ada persimpangan. Aku pun tak sadar karena terlalu asyik menikmati suasana senja.
Aku tersadar ketika rombongan depan berhenti. Aku berusaha melihat kedepan dan ternyata terdapat rimbunan pandan hutan yang lebat, daun daun berduri berserakan dibawah, batang - batangnya membentuk seperti jaring laba - laba yang sulit untuk dilalui. Aku berusaha untuk mencari jalan kedepan serta seputaran sekitar, namun tak kunjung ditemukan jalan utamanya. Aku berinisiatif untuk menerabasnya. Karena bagaimanapun, puncak selalu diatas dan karakter hutan pandan biasanya akan bertumpuk (merapat) satu tempat saja. Ketika sudah dilewati akan masuk ke tanaman perdu yang tidak terlalu tinggi.
Namun ternyata dugaanku salah, hutan pandan ini sangat luas. Dan beberapa kali dihadapkan dengan medan yang sangat curam. Kondisi saat itu sudah gelap, waktu menunjukan pukul 19.00 WIB. Maka aku menyuruh seluruh tim untuk istirahat dulu. Sembari istirahat aku berusaha untuk mengingat dimana letak kesalahan dan keputusan yang akan diambil.
Setelah istirahat dan makan cemilan, fikiran itu muncul. Aku memutuskan untuk kembali ke jalur sebelumnya dan memperhatikan simpang yang sempat diragukan. Namun ada inisiatif dari salah satu tim untuk melakukan doa. Maka doa pun dilakukan. Doa saya yang pimpin.
Selesai doa, perjalanan pun dilanjutkan. 15 menit berjalan tim menemukan persimpangan yang dimaksud. Jalan tersebut mengarah kesebelah kanan (saat posisi berjalan naik). Hal ini sangat mendukung karena ketika berjalan di hutan pandan sebelumnya aku berusaha memanjat ranting pohon untuk melihat puncak sibayak dan terlihat puncak tersebut berada disebelah kanan. Namun disaat mencari menerabas kekanan namun tak juga dapat menemukan jalan normal yang dimaksud.
Perjalanan dilanjutkan dengan kondisi yang gelap dan licin. Walaupun jumlah alat penerangan yang tidak maksimal, tim tetap berusaha melanjutkan perjalanan. Tanaman perdu yang lebat dan tanah yang telah tergerus oleh air hujan menggambarkan seperti terowongan. Jalan menunduk sembari harus memanjat bebatuan acap kali dilakukan.
Ketinggian lambat laut semakin bertambah, kondisi medan juga semakin sulit. Namun bayangan hitam dari pegunungan bukit barisan terlihat dibelakang. Hal tersebut menambah semangat kami. Hingga perjalanan berhenti pada titik hamparan datar perdu dekat puncak sibayak.
Disinilah kami mendirikan tenda. Hal tersebut sudah aku perhitungkan sejak awal karena dititik ini kita dapat melihat gemerlap malam lampu kota berastagi, sidebuk - debuk dan lampu PLTU G. Sibayak. Tak hanya itu, dari tempat ini ketika fajar tiba dapat menyaksikan sunrise di sebelah timur. Tepat dimana tenda kami menghadap. Dan hal yang paling penting daerahnya datar serta aroma belerang jarang tercium dari lokasi ini.
Tenda bergegas dipasang mengingat udara semakin dingin. Kaum laki-laki yang ditugaskan untuk memasang camp dan kaum wanita ditugaskan untuk menyiapkan makan malam. Begitu camp telah didirikan dan makan malam telah siap dihidangkan, makan bersama pun dilakukan. Canda tawa dan saling ejek akan perjalanan yang telah dilewati barusan menghiasi makan malam saat itu. Disini letak keindahan yang dapat dirasakan. Kegiatan positif di akhir pekan yang penuh dengan kebersamaan.  
 Rasa letih akibat perjalanan yang telah dilalui mengakibatkan rasa kantuk mulai menerpa. Sebagian dari mereka langsung tidur didalam tenda, dan ada sebagian yang masih asyik menikmati malam di pegunungan sambil menyaksikan gemerlap lampu kota dengan pasangannya. Sedangkan saya sendiri asyik mencabuti duri rotan yang tertanam di kaki ketika menerabas hutan pandan tadi.

Aku dibantu oleh erwin, yang menjadi guide perjalanan tadi. Ia dengan tekun mencabuti satu persatu duri - duri kecil yang tertanam. Sakit terkadang ketika luka koyak pada kulit dibersihkan dengan alkohol. Tak jarang si Erwin sering mengejeku bahwa aku manja.
Pagi pun menjelma muncul, suara azan mulai berkumandang. Aku mencoba membuka pintu tenda dan melihat kondisi sekitar. Betapa menabjubkan, ribuan cahaya bintang bertabur di angkasa. Hal tersebut terjadi karena tidak ada pencemaran cahaya di pegunungan sehingga kita dapat menyaksikan berbagai cahaya bintang di langit.
Di sisi lain, para pendaki lain juga mulai terdengar suaranya. Sepertinya mereka naik dari jalur tangga dan juga jalur wisata. Mereka berteriak melihat keindahan yang juga kami lihat saat itu juga. Satu persatu dari tim juga mulai ikut keluar dan mulai menyaksikan keindahan tersebut. Tak mau kalah mereka juga ikut berteriak menyaksikan keindahan tersebut.
Dari sisi timur, cahaya merah jingga mulai tampak dibalik awan hitam ke biru - biruan. Kami berharap matahari segera muncul. Tak mau buang waktu, aku menyuruh tim untuk memasak sarapan pagi. Dan sebagian lainnya mulai sibuk mengambil foto.

Aku mengambil matras dan mengambil trangia untuk memasak air. Menikmati fajar pagi tak lengkap rasanya jika tak ada kopi ataupun teh panas. Selang beberapa menit kemudian ternyata awan tebal menyelimuti matahari tersebut, hanya cahaya putih yang tampak dari ufuk timur. Lokasi sekitar pun mulai diselimuti oleh kabut. Angin uga tak mau kalah, ia bertiup dengan kencang membawa udara dingin pagi hari dipegunungan.
Sedikit kecewa ketika tidak dapat menyaksikan matahari terbit secara sempurna, namun cahaya yang dipancarkannya ternyata dapat dirasakan walaupun diselimuti oleh kabut. Udara hangat begitu terasa ketika menyentuh kulit. Suasana pun lebih dramatis. Hal ini memberikan semangatku kembali. Dokumentasi dari berbagai sudut dan posisi terus kami lakukan sampai pada tingkat jenuh dan bosan.

Foto bersama di depan kawah G. Sibayak

Selesai itu, kami sarapan pagi dan bergegas untuk mempacking barang - barang kami.kemdian tim melanjutkan perjalanan menuju puncak yang tinggal beberapa ratus meter lagi. tim mengabadikan foto dan kemudian turun kebawah untuk menikmati panorama kawah gunung sibayak yang juga masih aktif itu. Sampai pada akhirnya kami memutuskan untuk turun kebawah melalui jalur pariwisata yang akan menuju kota Berastagi.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar