Rabu, 02 Juli 2014

Merindukan Suasana Ramadhan

Gemerlap kemilau cahaya di perkotaan

Suara tarawih berkumandang dari bangunan-bangunan tinggi di kota. Walaupun tinggi namun sedikit banyaknya juga terhalang oleh bangunan lain. Itulah kondisi mesjid-mesjid di kota besar yang saling bersaing untuk menunjukan kebesarannya.
Bulan Suci ramadhan sudah masuk hampir satu pekan. Namun aku sendiri tak banyak merasakan suasana ramadhan tersebut. Entah karena diriku sendiri atau juga dirasakan oleh orang lain yang ada di sekitarku.
Suasana ramdhan di kota memang tidak begitu terasa. Terkecuali acara buka puasa bersama di mesjid, kumpul bersama teman atau komunitas lain. Dan dipagi hari saur ontherood / membagikan atau dapat bagian sahur di tengah jalan.
Bagaikan music pop dengan music dangdut, suara pengajian dan tadarus kalah dengan music-musik modern di bar, cafĂ©, atau warkop-warkop yang life music. Gemerlap kemilau lampu hias yang berwarna – warni mengalahkan lampu obor di pedesaan.
Ya, aku masih ingat dikala aku kecil, 9 tahun yang lalu aku masih bisa merasakan betapa indahnya suasana ramadhan. Hati yang teduh mendengar suara tadarus ketika malam hari, dikala sore mendengar lagu –lagu religi yang dipasang kuat-kuat oleh tetangga ataupun dari surau dan mesjid. Para remaja yang berjalan ,mengenakan kain putih (mukenah) dengan berjalan kaki menuju ataupun ppulang dari surau. Sore bersepeda keliling kampong ataupun duduk di pinggir sawah dekat dengan jembatan.
Memang benar suasana pedesaan, walaupun terlihat sederhana namun ketentraman hati, jiwa yang tenang dan rasa nyaman benar-benar tercipta. Interaksi yang tercipta bersifat nyata. Satu sama lain saling tatap muka. Berbeda sekali dengan gaya pergaulan di kota yang interaksinya dalam dunia maya. Bahkan terkadang teman yang ada di sekitarnya sering terabaikan karena percakapan dalam dunia maya tersebut.

Senja di Pesisir Pantai
Masing tergambar jelas suasana di awal puasa tahun lalu. Dikala itu aku menjadi tim relawan gempa di Aceh Tengah, takengon. Suasana islamiah masih begitu kental dalam diri masyarakat. Awalnya selama dua hari aku merasa sia-sia keberadaanku disana karena hanya sibuk kesana-kemari membawa logistik untuk mendistribusikannya.
Sebenarnya bukan hal yang sulit untuk itu, toh tinggal diberikan ke posko pengungsian, beres tugasnya. Namun bukan hal itu yang mau dicapai. Kami (kelompok mahasiswa pencinta alam se-indonesia) khususnya regional sumatera ingin membuka posko sendiri yang benar-benar belum terdistribusi bantuan.
Pengalaman di hari pertama yang memicu konflik antar kampong karena jumlah tenaga relawan yang belum mencukupi untuk mendistribusikan bantuan. Sedangkan cakupan wilayah desa cukup luas. Sehingga desa yang belum terdistribusikan bantuan mengusir keberadaan kami dengan alasan pembuat ulah dan kecemburuan social. Oleh karena itu, dimalam hari itu juga kami bergegas membongkar posko bantuan. Itulah yang kami bawa selama dua hari berturut-turut. Sedangkan bantuan setiap harii terus mengalir dari kelompok mapala yang lain.
Desa Tapak Moge yang menjadi tujuan akhir kami. Dan ternyata pencaharian selama dua hari membuahkan hasil. Didesa ini benar belum terdistribusikan bantuan/ tidak ada posko. Warga desa yang diwakili oleh kepala desa harus menjemput logistic di kecamatan yang jaraknya cukup jauh dari desa tersebut. Aku lupa apa nama desa / kecamatannya. Selain mendistribusikan bantuan logistik, membuat posko untuk sholat ibadah berjemaah seperti teraweh dan lain-lain dapat terealisasi. Tak hanya itu, saluran air yang terputus juga dapat kami atasi. Hal ini tak terlepas dari bantuan kawan-kawan mapala se Indonesia dan relawan asing asal singapura.
Hal lain yang mengingatkanku akan bulan ramadhan yang begitu indah yaitu dikala menjelang puasa pertama. Aku lupa entah di desa mana, meraka para mengungsi sampai menangis ketika mobil yang membawa logistik lewat begitu saja. Kami mencoba berhenti di desa tersebut dan memberikan bantuan yang ada. Dengan mata berlinang mereka berterima kasih atas bantuan yang diberikan. Mereka berucap “terima kasih atas bantuannya, besok mau megang kami gak ada daging yang bisa dimasak. Kalau pun ada sarden pun jadi yang penting daging juga, walaupun daging ikan”.
Sekejap itu saja bergetar rasanya lututku. Sambil menahan batin aku tetap berusaha membagikan logistik yang sudah di packing sbelumnya saat di posko. Puasa pertama bagi orang aceh merupakan hal yang sangat sakral dan penting. Megang mereka menyebutnya, kalau di desaku disebut dengan punggahan. Di hari itu, meraka umumnya wajib memasak daging sapi. Aku tak tahu apa alasan dan filosofinya. Tak sempat aku bertanya kepada mereka. Namun aku bisa merasakan bagaimana perasaan mereka dikala itu, dengan kondisi rumah dan harta meraka yang porak-poranda juga.
Perasaan seperti itulah yang tak kudapatkan lagi saat ini. modernisasi dan kemajuan teknologi semakin menggeserkan sense dan sifat social yang nyata sesame kita, khususnya kalangan muda. Banyak orang yang begitu aktif, ramah dan friendship tapi disaat bertemu canggung dan bahkan terkesan cuek. Tadarus, syiar-syiar islam dan lagu-lagu religi terpinggirkan oleh music modern yang terkadang maknanya melenceng dari ajaran islam.
Tulisan ini hanya sebuah uneg-uneg yang terpendam dalam hati. Menuliskan di dalam blog terkadang lebih bermanfaat daripada menulis dalam catatan pribadi. Semoga dapat bermanfaat dan kita bisa merasakan dan mencoba merenungkan suasana yang terjadi saat ini. jangan sampai pengaruh budaya luar menggerus budaya kita yang sesungguhnya. Sejujurnya bangsa yang besar adalah bangsa yang mempunyai karakter dan jati dirinya sendir.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar