Kamis, 18 April 2013

Tahlilan & Kenduri

Budaya Jawa Tahlilan 

Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan. Hal tersebut didukung oleh beraneka ragamnya suku dan agama yang ada di Indonesia. Budaya tersebut menggambarkan seluruh aktivitas kehidupan. Kali ini saya akan menceritakan budaya Suku Jawa yang merupakan suku terbesar di negara ini. Setahun yang lalu, kakek saya meninggal. Dia asli orang Jawa dan beragama Islam. Dihari kematiannya, tiga hari berturut-turut diadakan tahlilan. Tahlilan ini berupa pembacaan ayat-ayat al-Quran serta Surat Yasin. Tahlilan tersebut diikuti oleh warga setempat, kerabat ataupun sanak saudara tanpa ada unsur undangan ataupun ajakan dari ahli bait (tuan rumah).

Mereka datang berbondong - bondong memakai pakaian muslim dan peci (tutup kepala yang biasa digunakan untuk sholat) untuk melakukan tahlilan. Tahlilan umumnya dihadiri oleh kaum laki-laki yang sudah dewasa dan dilaksanakan setelah Sholat Isya (salah satu bagian dari sholat 5 waktu dalam ajaran islam). Tahlilan ini dilakukan bukan hanya pada waktu 3 hari pertama secara berturut-turut, namun dilakukan juga pada hari ketujuh atau bahasa jawa menyebutnya metong dino, hari ke-40 (Matang Puluh), hari ke-100 (Nyeratos), hari ke-365 atau satu tahun (Mendak), dan hari ke-1000 (Mendak telu).

Ketika saya tanyakan tujuan dari peringatan hari-hari tersebut, saya hanya sedikit mendapatkan penjelasannya. Dikatakan oleh paman saya yaitu “Untuk penyempurnaan, manusia itu hidup di dunia kan tidak ada yang sempurna”. Jadi saya beranggapan ketika melihat acara tersebut berarti penyempurnaan yang dimaksud yaitu penyempurnaan amal ibadah. Saya kemudian bertanya kembali “emang ada dianjurkan dalam agama islam paman?” dan jawabannya “ada, dalam Al-quran dijelaskan bahwa doa anak orang soleh diterima oleh Allah SWT. Ingat, doa ANAK SOLEH, bukan harus anak kandung. Maka dari itu kita memperingati semoga para tamu /peserta tahlilan yang datang adalah anak soleh sehingga doa-doa dan ayat-ayat Al-quran yang dipanjatkan dapat menyempurnakan amal ibadah kakek. Hal itu juga disarankan dalam adat Budaya Jawa dan Sifat 20” jelas paman.

Namun ketika saya tanya lagi tentang apa itu Sifat 20, ia enggan menceritakannya. Sebab, Sifat 20 itu antara ada dan tiada. Dan saya pun tidak mau membahasnya lebih dalam.

Sejarah kenduri/kenduren 

Maka saya berusaha mencari tahu lebih lanjut. Alhasil saya mendapatkan informasi sedikit tentang acara yang diadakan untuk kakek saya. Acara tersebut ternyata salah satu bagian dari kenduri. kenduri/kenduren artinya do’a bersama yang dihadiri oleh para tetangga dan dipimpin oleh pemuka agama atau yang dituakan di kampung setempat. Tujuan dari kenduri ini adalah meminta keselamatan buat yang didoakan beserta keluarganya.

Dari mana asal kenduri ini? Menurut pengamat budaya dan sejarah Agus Sunyoto dalam artikelnya (http://www.antaranews.com) bahwa budaya kenduri kematian yang dilakukan umat Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa bukan karena pengaruh Hindu atau Budha karena di kedua agama itu tidak ditemukan ajaran kenduri.

Agus menegaskan bahwa, dalam agama Hindu atau Budha tidak dikenal kenduri dan tidak pula dikenal peringatan orang mati pada hari ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100 atau ke-1.000. Catatan sejarah menunjukkan bahwa orang Campa memperingati kematian seseorang pada hari ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100 dan ke-1.000. Orang-orang Campa juga menjalankan peringatan khaul, peringatan hari Assyuro dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Mencermati fakta tersebut, maka Agus berkeyakinan tradisi kenduri, termasuk khaul adalah tradisi khas Campa yang jelas-jelas terpengaruh Faham Syi`ah.

Jika kita mau merunut sejarah, istilah kenduri itu sendiri jelas-jelas menunjuk kepada pengaruh Syi`ah karena dipungut dari bahasa Persia, yakni Kanduri yang berarti upacara makan-makan memperingati Fatimah Az Zahroh, puteri Nabi Muhammad SAW. 

Fenomena sublimasi nilai ritual dan budaya ini jika ditinjau dari aspek sosio-historis adalah dikarenakan munculnya tradisi kepercayaan di Nusantara ini banyak dipengaruhi oleh pengungsi dari Campa yang beragama Islam. Peristiwa yang terjadi pada rentang waktu antara tahun 1446 hingga 1471 masehi itu rupanya memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi terjadinya perubahan sosio-kultural religius di Majapahit khususnya dan di pulau Jawa pada umumnya.

Hal ini bisa dilacak melalui contoh kebiasaan orang Campa yang memanggil ibunya dengan sebutan “mak”, sedangkan orang-orang Majapahit kala itu menyebut “ibu” atau “ra-ina”. Di Surabaya dan sekitarnya, tempat Sunan Ampel menjadi raja, masyarakat memanggil ibunya dengan sebutan “mak”. Pengaruh kebiasaan Campa yang lain terlihat pula dalam cara orang memanggil kakaknya atau yang lebih tua dengan sebutan “kang”, sedangkan orang Majapahit kala itu memanggil dengan sebutan “raka”. Untuk adik, orang Campa menyebut “adhy”, sedangkan di Majapahit disebut “rayi”. 

Pada dasarnya ada perbedaan diantara pengaruh muslim Cina dengan Campa di masa-masa akhir kejayaan kerajaan Majapahit atau di era Wali Songo. Muslim Campa selama proses asimilasi melebur dengan penduduk setempat, hingga watak Campanya hilang dan berbaur dengan kejawaan. Sedangkan muslim Cina masih cukup kuat menunjukkan eksistensi kecinaannya sampai beberapa abad. 

Itulah gambaran singkat tentang sejarah kenduri. Saya menulis ini karena rasa keingintahuan dan kecintaan saya akan budaya Indonesia. harapan saya dengan ini budaya tersebut tetap terjaga. Dan kata terakhir semoga tulisan ini bermafaat bagi kawan-kawan yang membacanya. Amin.

Jumat, 12 April 2013

Mahasiswa Pecinta Alam & Perkembangannya

Foto di Puncak Mahameru, Tempat dimana meninggalnya  Soe  Hok  Gie

Apa yang muncul dibenak fikiran ketika ditanya tentang Mapala singkatan dari kata Mahasiswa Pencinta Alam? Dapat dipastikan jawaban yang paling banyak yaitu mendaki gunung. Pertanyaan berikutnya, kenapa mesti Pencinta Alam? dari mana kata itu berasal? Sebagai informasi, kata pencinta alam hanya ada di indonesia. di negara lain, kegiatan yang berkecimpung di alam bebas mereka sebut dengan aktivis lingkungan. Lalu, siapa pendiri kelompok mapala pertama di Indonesia? Dan tahun berapa Mapala di Indonesia dibentuk? 

Kelompok Pencinta Alam di indonesia di bentuk oleh seorang aktivis dari Universitas Indonesia, yaitu Soe Hok Gie. Gagasan itu muncul karena merasa jenuh dengan situasi yang penuh intrik dan konflik politik. Soe ingin membentuk suatu organisasi yang bisa jadi wadah berkumpulnya berbagai kelompok dari kalangan aktivis. Namun bukan bergiat di arena politik praktis, tapi di alam bebas. Soe berpendapat bahwa rasa patriotisme tidak dapat tumbuh hanya dengan slogan - slogan indoktrinasi ataupun poster - poster belaka, namun dengan jalan hidup di tengah alam dan di antara masyarakat kebanyakan.

Lalu pada 8 November 1964, mahasiswa pencinta alam pertama di indonesia pertama didirikan dengan nama “MAPALA PRAJNAPARAMITA” yang saat ini disebut dikenal dengan nama MAPALA UI. Sesuai dengan gagasan dari pencetusnya, Mapala Prajnaparamita memiliki tujuan yang pertama, Memupuk rasa patriotisme dikalangan anggotanya, yang kedua yaitu mendidik mental dan fisik, serta yang terakhir yaitu mencapai semangat gotong royong dan kesadaran sosial. 

Lalu, bagaimana dengan perkembangan mapala saat ini? Dapat dilihat, hampir setiap perguruan tinggi dari berbagai daerah memiliki organisasi pencinta alam. Bahkan dalam satu kampus terdapat beberapa organisasi pencinta alam. Contohnya seperti di kampus UGM terdapat 38 organisasi pencinta alam, yang terdiri dari Mapala Universitas, Fakultas, serta Jurusan. Hal tersebut tak jauh beda dengan di Sumatera Utara, khususnya di Universitas Sumatera Utara. Terdapat 5 kelompok pencinta alam yang terdaftar di Pusat Koordinasi Daerah MAPALA-SU. Yaitu KOMPAS - USU untuk tingkat Universitas, PARINTAL untuk Fak. Pertanian, GEMAPALA untuk Fak. Ilmu Budaya, NATURAL JUSTICE untuk Fak. Hukum dan BIOPALAS untuk Jurusan Biologio Fak. MIPA USU. Setiap organisasi pencinta alam memiliki tujuan masing - masing. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan dan peranannya.

Logo KOMPAS - USU 

Saya mengambil sample KOMPAS - USU. Organisasi ini memiliki tujuan yaitu “Membina insan akademis yang sadar, mampu dan bertanggung jawab dalam melestarikan alam sebagai lingkungan hidup yang sehat”. Hal tersebut tertera dalam AD/ART organisasi pasal 5. Sejalan dengan tujuannya, dalam setiap kegiatan yang dilakukan KOMPAS - USU selalu mengutamakan hal pembinaan sebagai seorang akademisi. Kepetualangan alam bebas seperti perjalanan Hutan Gunung, Arung Jeram, Susur Gua, Panjat Tebing, Sepeda Gunung, ataupun kegiatan kepetualangan alam bebas lainnya tetap dilaksanakan. Hal ini mengingat organisasi ini berorientasi dari minat dan bakat. 

Anggota KOMPAS - USU yang menemukan penebangan di kawasan hutan lindung dalam kegiatan Eksplorasi Ekosistem Rimba pada tahun 2011 lalu. Copyright foto : Dedy Zulkifli   


Namun, agar tujuan organisasi dapat tercapai KOMPAS - USU berusaha untuk menyeimbangkan antara kepetualangan dengan pembinaan insan akademis. Baik itu dalam segi mental, kesadaran, hal teknis maupun studi ilmiahnya. Sebagai contoh kegiatan mendaki gunung. Mendaki bukan hanya sekedar mencintai dari hal menikmati keindahan alam, namun rasa solidaritas dan sosial juga ditumbuhkan dalam satu tim perjalanan. Menolong sesama tim yang membutuhkan bantuan menjadi dasar untuk pencapaian sebuah tujuan bersama. 

Tidak hanya itu, bentuk tanggung jawab juga diberikan seperti membawa kembali sampah yang bersifat non organik. Serta hal - hal yang lainnya yang berupa pembinaan selalu ditanamkan kepada anggotanya dalam setiap kegitan kepetualangan. untuk pembahasan manfaat mendaki gunung akan dikupas dalam edisi berikutnya. Tujuan tersebut di aplikasikan dalam kegiatan kepetualangan seperti Ekspedisi nephenthes di Taman Nasional Gunung Leuser 2009, Eksplorasi Ekosistem Rimba di sekitar kawasan Hutan Lindung Sibayak - Pintau dan Langkat pada tahun 2011, Pengamatan dan Pendokumentasian Angrek di sepanjang jalur Deleng Simpulan Angin - Deleng Barus, dan Pendakian dan Pendokumentasian Kantong Semar di G. Sibuatan pada tahun 2012, serta kegiatan terakhir bulan april lalu Inventarisir Jamur di sepanjang jalur pendakian Gunung Sibuatan. 

Hal tersebut dilakukan oleh anggota dari berbagai disiplin ilmu. Baik itu Fakultas Ekonomi, Ilmu Budaya, Hukum, Teknik, Kedokteran, Ilmu Sosial & Politik, serta fakultas lainnya. Tidak ada kata yang pernah terucap “bukan bidangku” dari setiap anggota. Kegiatan berasal dari minat dan ketertarikan akan keindahan alam yang diaplikasikan dengan tindakan nyata dari mereka. Organisasi hanya memfasilitasi dan menunjang terselenggaranya kegiatan. Itulah sebagian gambaran dari kegiatan yang dilakukan oleh KOMPAS - USU yang merupakan singkatan dari Korps Mahasiswa Pencinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup Universitas Sumatera Utara. Perkembangan kegiatan dari salah satu mapala di Sumatera Utara.