Gemerlap kemilau cahaya di perkotaan |
Suara tarawih berkumandang dari
bangunan-bangunan tinggi di kota. Walaupun tinggi namun sedikit banyaknya juga
terhalang oleh bangunan lain. Itulah kondisi mesjid-mesjid di kota besar yang
saling bersaing untuk menunjukan kebesarannya.
Bulan Suci ramadhan sudah masuk hampir
satu pekan. Namun aku sendiri tak banyak merasakan suasana ramadhan tersebut. Entah
karena diriku sendiri atau juga dirasakan oleh orang lain yang ada di
sekitarku.
Suasana ramdhan di kota memang tidak
begitu terasa. Terkecuali acara buka puasa bersama di mesjid, kumpul bersama
teman atau komunitas lain. Dan dipagi hari saur ontherood / membagikan atau
dapat bagian sahur di tengah jalan.
Bagaikan music pop dengan music dangdut,
suara pengajian dan tadarus kalah dengan music-musik modern di bar, café, atau
warkop-warkop yang life music. Gemerlap kemilau lampu hias yang berwarna –
warni mengalahkan lampu obor di pedesaan.
Ya, aku masih ingat dikala aku
kecil, 9 tahun yang lalu aku masih bisa merasakan betapa indahnya suasana
ramadhan. Hati yang teduh mendengar suara tadarus ketika malam hari, dikala
sore mendengar lagu –lagu religi yang dipasang kuat-kuat oleh tetangga ataupun
dari surau dan mesjid. Para remaja yang berjalan ,mengenakan kain putih
(mukenah) dengan berjalan kaki menuju ataupun ppulang dari surau. Sore bersepeda
keliling kampong ataupun duduk di pinggir sawah dekat dengan jembatan.
Memang benar suasana pedesaan,
walaupun terlihat sederhana namun ketentraman hati, jiwa yang tenang dan rasa
nyaman benar-benar tercipta. Interaksi yang tercipta bersifat nyata. Satu sama
lain saling tatap muka. Berbeda sekali dengan gaya pergaulan di kota yang
interaksinya dalam dunia maya. Bahkan terkadang teman yang ada di sekitarnya
sering terabaikan karena percakapan dalam dunia maya tersebut.
Senja di Pesisir Pantai |
Masing tergambar jelas suasana di
awal puasa tahun lalu. Dikala itu aku menjadi tim relawan gempa di Aceh Tengah,
takengon. Suasana islamiah masih begitu kental dalam diri masyarakat. Awalnya
selama dua hari aku merasa sia-sia keberadaanku disana karena hanya sibuk
kesana-kemari membawa logistik untuk mendistribusikannya.
Sebenarnya bukan hal yang sulit untuk
itu, toh tinggal diberikan ke posko pengungsian, beres tugasnya. Namun bukan
hal itu yang mau dicapai. Kami (kelompok mahasiswa pencinta alam se-indonesia)
khususnya regional sumatera ingin membuka posko sendiri yang benar-benar belum
terdistribusi bantuan.
Pengalaman di hari pertama yang
memicu konflik antar kampong karena jumlah tenaga relawan yang belum mencukupi
untuk mendistribusikan bantuan. Sedangkan cakupan wilayah desa cukup luas. Sehingga
desa yang belum terdistribusikan bantuan mengusir keberadaan kami dengan alasan
pembuat ulah dan kecemburuan social. Oleh karena itu, dimalam hari itu juga
kami bergegas membongkar posko bantuan. Itulah yang kami bawa selama dua hari
berturut-turut. Sedangkan bantuan setiap harii terus mengalir dari kelompok
mapala yang lain.
Desa Tapak Moge yang menjadi tujuan
akhir kami. Dan ternyata pencaharian selama dua hari membuahkan hasil. Didesa ini
benar belum terdistribusikan bantuan/ tidak ada posko. Warga desa yang diwakili
oleh kepala desa harus menjemput logistic di kecamatan yang jaraknya cukup jauh
dari desa tersebut. Aku lupa apa nama desa / kecamatannya. Selain mendistribusikan
bantuan logistik, membuat posko untuk sholat ibadah berjemaah seperti teraweh
dan lain-lain dapat terealisasi. Tak hanya itu, saluran air yang terputus juga
dapat kami atasi. Hal ini tak terlepas dari bantuan kawan-kawan mapala se Indonesia
dan relawan asing asal singapura.
Hal lain yang mengingatkanku akan
bulan ramadhan yang begitu indah yaitu dikala menjelang puasa pertama. Aku lupa
entah di desa mana, meraka para mengungsi sampai menangis ketika mobil yang
membawa logistik lewat begitu saja. Kami mencoba berhenti di desa tersebut dan
memberikan bantuan yang ada. Dengan mata berlinang mereka berterima kasih atas
bantuan yang diberikan. Mereka berucap “terima kasih atas bantuannya, besok mau
megang kami gak ada daging yang bisa
dimasak. Kalau pun ada sarden pun jadi yang penting daging juga, walaupun
daging ikan”.
Sekejap itu saja bergetar rasanya
lututku. Sambil menahan batin aku tetap berusaha membagikan logistik yang sudah
di packing sbelumnya saat di posko. Puasa pertama bagi orang aceh merupakan hal
yang sangat sakral dan penting. Megang
mereka menyebutnya, kalau di desaku disebut dengan punggahan. Di hari itu, meraka umumnya wajib memasak daging sapi. Aku
tak tahu apa alasan dan filosofinya. Tak sempat aku bertanya kepada mereka. Namun
aku bisa merasakan bagaimana perasaan mereka dikala itu, dengan kondisi rumah
dan harta meraka yang porak-poranda juga.
Perasaan seperti itulah yang tak
kudapatkan lagi saat ini. modernisasi dan kemajuan teknologi semakin
menggeserkan sense dan sifat social yang nyata sesame kita, khususnya kalangan
muda. Banyak orang yang begitu aktif, ramah dan friendship tapi disaat bertemu canggung dan bahkan terkesan cuek. Tadarus,
syiar-syiar islam dan lagu-lagu religi terpinggirkan oleh music modern yang
terkadang maknanya melenceng dari ajaran islam.
Tulisan ini hanya sebuah uneg-uneg
yang terpendam dalam hati. Menuliskan di dalam blog terkadang lebih bermanfaat
daripada menulis dalam catatan pribadi. Semoga dapat bermanfaat dan kita bisa
merasakan dan mencoba merenungkan suasana yang terjadi saat ini. jangan sampai
pengaruh budaya luar menggerus budaya kita yang sesungguhnya. Sejujurnya bangsa
yang besar adalah bangsa yang mempunyai karakter dan jati dirinya sendir.