Fajar di Gunung Sibayak yang diselimuti oleh kabut |
Suasana wekend
selalu penuh dengan keceriaan dan rencana perjalanan. Begitu lah yang aku alami
setiap wekend tiba. Karena Indonesia merupakan surga bagi para pencinta
traveller. Kali ini aku akan menceritakan perjalanan menikmati udara dingin
pegunungan untuk menyaksikan sang fajar terbit.
Mobil bus
meraung dijalanan yang mendaki, dari balik jendela sepasang mata sedang menatap
jalanan berliku. Harapan dan angan - angan tergambar diatas kepala. Pendakian
ke gunung ini bukan untuk yang pertama kalinya dilakukan. Dan yang pasti bukan
hanya satu cerita yang dapat diceritakan.
Bayangan dan
angan - angan tersebut muncul karena pertama kalinya perjalanan dilakukan
melanggar estetika pendakian. Suatu hal yang tidak sewajarnya dilakukan hanya
untuk mencari kesenangan belaka. Bukan hal yang bersifat fital ataupun
mendesak.
Peregangan tubuh sebelum melakukan pendakian |
13 orang muda -
mudi yang kebanyakan pemula dalam kegiatan pendakian sedang melakukan
pemanasan. Aktivitas mereka menarik perhatian para pengguna jalan karena
dilakukan di pinggir jalan. Penatapan (Lokasi wisata untuk melihat pemandangan
alam Sibolangit) menjadi titik awal start pendakian.
Terdapat tiga
jalur untuk melakukan pendakian Gunung Sibayak. Jalur yang umum yaitu Jalur
Pariwisata, jalur yang titik startnya dari Desa Jaranguda (Pajak Buah
Berastagi), yang kedua Jalur Tangga, yang titik startnya dilakukan dari Desa
Semangat Gunung atau pemandian alam air panas Sidebuk - debuk. Dan yang ketiga
yaitu jalur 54 yaitu jalur yang dimulai dari titik start KM 54 Medan -
Berastagi atau tepatnya di Desa Doulu.
Kami memilih
jalur 54. Jalur ini merupakan jalur yang cukup menarik untuk melakukan
pendakian. selain jalurnya yang melewati hutan alami, treknya juga tidak begitu
terjal. Butuh waktu empat sampai lima jam untuk melakukan pendakian secara normal.
Pendakian
dilakukan pukul 15.00 WIB, tim berjumlah 14 orang yang terdiri dari 7 laki-laki
dan 7 perempuan. Peranku disini hanya sebagai pendamping untuk mengawasi sang
penunjuk jalan.
Pendakian
dilakukan cukup lambat, namun mereka terus berjalan secara konstan. Sebelum mencapai shelter
(titik/tempat peristirahatan) satu, ada satu orang di diantara pendaki balik
ke titik start dikarenakan hpnya tertinggal di post lalulintas tempat ia
mengisi ulang hpnya.
Setibanya ia
kembali dengan kondisi hp yang masih ada, kami melanjutkan perjalanan kembali.
Satu persatu tim mulai merasa letih. Disinilah aku mulai menanamkan nikmatnya mendaki
gunung. “Mari kita nimati suasana ini, pepohonan yang besar nan rimbun, kondisi
yang tenang karena tidak ada klakson, udara sejuk dan beberapa kicauan burung
serta mamalia yang saling sahut-sahutan. Suasana seperti ini tak akan
didapatkan di perkotaan sana”.
“Bukankah ini
kehendak kita untuk mendaki gunung, pemandangan dipuncak adalah bonus bagi
orang yang beruntung. Sebab tak selamnya pemadangan dipuncak selalu indah. Bila
kabut ataupun hujan datang, tak ada lagi yang bisa dinikmati. Jadi, lebih baik
kita nikmati suasana perjalanan ini”. Ucapku kepada mereka. belum merasa yakin,
aku kembali berusaha memotivasi mereka. “Lihat ekspresi dari raut wajah teman-
teman kalian, lucu bukan. Kebersamaan, pershabatan, konflik, ataupun tindakan -
tindakan konyol kalian ini akan menjadi pengalaman yang menarik untuk
diceritakan nantinya”
Tak lama
kemudian, semangat mereka pun datang kembali. Tak ada lagi raut wajah musam
ataupun mengeluh. Senyuman dan tawa riang mulai terlihat diwajah mereka. sangking
semangatnya pemandu jalan didepan yang juga masih belajar karena baru pertama
kali naik ke gunung ini tidak menyadari bahwa ada persimpangan. Aku pun tak
sadar karena terlalu asyik menikmati suasana senja.
Aku tersadar
ketika rombongan depan berhenti. Aku berusaha melihat kedepan dan ternyata
terdapat rimbunan pandan hutan yang lebat, daun daun berduri berserakan
dibawah, batang - batangnya membentuk seperti jaring laba - laba yang sulit
untuk dilalui. Aku berusaha untuk mencari jalan kedepan serta seputaran
sekitar, namun tak kunjung ditemukan jalan utamanya. Aku berinisiatif untuk
menerabasnya. Karena bagaimanapun, puncak selalu diatas dan karakter hutan
pandan biasanya akan bertumpuk (merapat) satu tempat saja. Ketika sudah
dilewati akan masuk ke tanaman perdu yang tidak terlalu tinggi.
Namun ternyata dugaanku
salah, hutan pandan ini sangat luas. Dan beberapa kali dihadapkan dengan medan
yang sangat curam. Kondisi saat itu sudah gelap, waktu menunjukan pukul 19.00
WIB. Maka aku menyuruh seluruh tim untuk istirahat dulu. Sembari istirahat aku
berusaha untuk mengingat dimana letak kesalahan dan keputusan yang akan diambil.
Setelah istirahat
dan makan cemilan, fikiran itu muncul. Aku memutuskan untuk kembali ke jalur
sebelumnya dan memperhatikan simpang yang sempat diragukan. Namun ada inisiatif
dari salah satu tim untuk melakukan doa. Maka doa pun dilakukan. Doa saya yang
pimpin.
Selesai doa,
perjalanan pun dilanjutkan. 15 menit berjalan tim menemukan persimpangan yang
dimaksud. Jalan tersebut mengarah kesebelah kanan (saat posisi berjalan naik).
Hal ini sangat mendukung karena ketika berjalan di hutan pandan sebelumnya aku
berusaha memanjat ranting pohon untuk melihat puncak sibayak dan terlihat
puncak tersebut berada disebelah kanan. Namun disaat mencari menerabas kekanan
namun tak juga dapat menemukan jalan normal yang dimaksud.
Perjalanan
dilanjutkan dengan kondisi yang gelap dan licin. Walaupun jumlah alat
penerangan yang tidak maksimal, tim tetap berusaha melanjutkan perjalanan. Tanaman
perdu yang lebat dan tanah yang telah tergerus oleh air hujan menggambarkan
seperti terowongan. Jalan menunduk sembari harus memanjat bebatuan acap kali
dilakukan.
Ketinggian
lambat laut semakin bertambah, kondisi medan juga semakin sulit. Namun bayangan
hitam dari pegunungan bukit barisan terlihat dibelakang. Hal tersebut menambah
semangat kami. Hingga perjalanan berhenti pada titik hamparan datar perdu dekat
puncak sibayak.
Disinilah kami
mendirikan tenda. Hal tersebut sudah aku perhitungkan sejak awal karena dititik
ini kita dapat melihat gemerlap malam lampu kota berastagi, sidebuk - debuk dan
lampu PLTU G. Sibayak. Tak hanya itu, dari tempat ini ketika fajar tiba dapat
menyaksikan sunrise di sebelah timur. Tepat dimana tenda kami menghadap. Dan
hal yang paling penting daerahnya datar serta aroma belerang jarang tercium
dari lokasi ini.
Tenda bergegas
dipasang mengingat udara semakin dingin. Kaum laki-laki yang ditugaskan untuk
memasang camp dan kaum wanita ditugaskan untuk menyiapkan makan malam. Begitu
camp telah didirikan dan makan malam telah siap dihidangkan, makan bersama pun
dilakukan. Canda tawa dan saling ejek akan perjalanan yang telah dilewati
barusan menghiasi makan malam saat itu. Disini letak keindahan yang dapat
dirasakan. Kegiatan positif di akhir pekan yang penuh dengan kebersamaan.
Rasa letih akibat perjalanan yang telah
dilalui mengakibatkan rasa kantuk mulai menerpa. Sebagian dari mereka langsung
tidur didalam tenda, dan ada sebagian yang masih asyik menikmati malam di
pegunungan sambil menyaksikan gemerlap lampu kota dengan pasangannya. Sedangkan
saya sendiri asyik mencabuti duri rotan yang tertanam di kaki ketika menerabas
hutan pandan tadi.
Aku dibantu oleh
erwin, yang menjadi guide perjalanan tadi. Ia dengan tekun mencabuti satu
persatu duri - duri kecil yang tertanam. Sakit terkadang ketika luka koyak pada
kulit dibersihkan dengan alkohol. Tak jarang si Erwin sering mengejeku bahwa
aku manja.
Pagi pun
menjelma muncul, suara azan mulai berkumandang. Aku mencoba membuka pintu tenda
dan melihat kondisi sekitar. Betapa menabjubkan, ribuan cahaya bintang bertabur
di angkasa. Hal tersebut terjadi karena tidak ada pencemaran cahaya di
pegunungan sehingga kita dapat menyaksikan berbagai cahaya bintang di langit.
Di sisi lain,
para pendaki lain juga mulai terdengar suaranya. Sepertinya mereka naik dari
jalur tangga dan juga jalur wisata. Mereka berteriak melihat keindahan yang
juga kami lihat saat itu juga. Satu persatu dari tim juga mulai ikut keluar dan
mulai menyaksikan keindahan tersebut. Tak mau kalah mereka juga ikut berteriak
menyaksikan keindahan tersebut.
Dari sisi timur,
cahaya merah jingga mulai tampak dibalik awan hitam ke biru - biruan. Kami
berharap matahari segera muncul. Tak mau buang waktu, aku menyuruh tim untuk
memasak sarapan pagi. Dan sebagian lainnya mulai sibuk mengambil foto.
Aku mengambil
matras dan mengambil trangia untuk memasak air. Menikmati fajar pagi tak
lengkap rasanya jika tak ada kopi ataupun teh panas. Selang beberapa menit
kemudian ternyata awan tebal menyelimuti matahari tersebut, hanya cahaya putih
yang tampak dari ufuk timur. Lokasi sekitar pun mulai diselimuti oleh kabut.
Angin uga tak mau kalah, ia bertiup dengan kencang membawa udara dingin pagi
hari dipegunungan.
Sedikit kecewa
ketika tidak dapat menyaksikan matahari terbit secara sempurna, namun cahaya
yang dipancarkannya ternyata dapat dirasakan walaupun diselimuti oleh kabut.
Udara hangat begitu terasa ketika menyentuh kulit. Suasana pun lebih dramatis.
Hal ini memberikan semangatku kembali. Dokumentasi dari berbagai sudut dan
posisi terus kami lakukan sampai pada tingkat jenuh dan bosan.
Foto bersama di depan kawah G. Sibayak |
Selesai itu, kami sarapan pagi dan bergegas untuk mempacking barang - barang kami.kemdian tim melanjutkan perjalanan menuju puncak yang tinggal beberapa ratus meter lagi. tim mengabadikan foto dan kemudian turun kebawah untuk menikmati panorama kawah gunung sibayak yang juga masih aktif itu. Sampai pada akhirnya kami memutuskan untuk turun kebawah melalui jalur pariwisata yang akan menuju kota Berastagi.