Selasa, 27 Maret 2012

Lubuk Pakam

suasana kota Lubuk Pakam
Beberapa hari yang lalu ketika hendak pulang kerumah, aku menyempatkan diri untuk berjalan – jalan di taman kota Lapangan Segitiga Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang Sumatra Utara. Kenapa dikatakan Lapangan Segitiga?? Secara umum lapangan kan bentuknya persegi panjang!!
Sebuah pertanyaan yang sering dilontarkan oleh sebagian pendatang yang merasa heran dengan penamaan taman tersebut.
Dikatakan Taman Umum Lapangan Segitiga sebab taman tersebut jika ditarik secara keseluruhan atau secara utuh memang berbentuk segitiga. Cuma terdiri dari tiga bagian. Bagian yang runcing itu dijadikan tugu bank daerah yaitu Bank Sumut. Konon dahulunya tugu ini akan dijadikan tugu ikon Lapangan Segitiga oleh Pemkab Deli Serdang. Namun karena dananya yang tidak jelas, pembangunannya jadi terbengkalai. Kemudian pembangunan tersebut diambil alih oleh Bank Sumut sehingga loga atau ikon Bank Sumut lah yang terlihat di tugu tersebut.
Selanjutnya bagian kedua yaitu Taman Mahkam Pahlawan Lubuk Pakam. Di makam tersebut jumlah pahlawan yang dikebumikan disitu sangat sedikit. Sehingga ada teman saya yang baru datang ke Pakam dan  melihat mahkam tersebut mengatakan “dari semua lokasi yang pernah aku kunjungi, mahkam pahlawan inilah yang paling kecil”. Mendengar pernyataan tersebut aku hanya tersenyum saja.
Dan bagian yang ketiga yaitu lapangan luas yang berbentuk persegi yang tak sama sisi. Bagaikan sebuah segitiga, namun bagian ujung yang runcingnya dibuang. Seperti itulah gambaran bentuknya. Di pinggiran lapangan tersebut dibuat trotoar untuk masyarakat melakukan jogging tau sekedar jalan santai.
satu porsi siomay tanpa telur

Disini aku ingin berbagi inforasi tentang jajanan / kuliner yang selalu membuat saya ketagihan. Dari semenjak saya SMA sampai Kuliah bila ada kesempatan aku selalu menyempatkan untuk makan siomay yang berjualan didepan mahkam pahlawan tersebut. Harganya pun relatif murah, perporsinya cuma goceng atau lima ribu rupiah. Sudah lengkap dengan bakso, telur dan kacang gorengnya. Sayang, waktu saya datang telurnya sudah habis jadi saya tidak merasakannya.
pedagang siomay yang berjualan di depan mahkam pahlawan

Pedagang siomay yang orientasi pasarnya fokus pada anak sekolah ini berdagang mulai pukul 10.00 WIB sampai dagangannya habis. Umumnya pukul 16.00 dagangannya sudah habis. Pedagang yang bernama Pak Heri, berumur 37 tahun ini sudah berjualan selama 6 tahun lebih. Penghasilan rata-ratanya mencapai 100 ribu perhari. 
Pohon kelapa dan pohon asam peneduh lokasi jajanan
Suasana tempat makannya pun asyik, dibawah rindangnya pohon asem dan pohon asem serta hijaunya rerumputan menambah asyiknya suasana makan. Angin sepoi – sepoi plus es kelapa muda akan merefreskan fikiran sejenak. Walaupun makan dipinggir jalan para pengunjung tidak perlu khawatir dengan debu jalanan. Sebab anak dari pedagang tersebut selalu menyiram jalanan tempat para mobil melintas. Dan jarak lokasi tempat makan kita pun sebenarnya juga jauh kok dari jalan. Jadi masih higenis kok maknannya. 
anak pedagang siomay yang sedang menyiram jalanan

Setelah selesai makan siomay aku berkeliling ke kota lubuk pakam yang biasa aku lewati. Tapi kali ini suasananya berbeda sebab aku berjalan kaki dan memotret suasana perkotaan tersebut. Seolah-olah backpacker yang baru pertama kali datang ke kota tersebut. Hehehe...

Senin, 26 Maret 2012

pesisir pantai

Minggu, 25 maret 2012 aku bersama keluarga pergi ketempat saudara di daerah pesisir pantai. Tepatnya di Dusun Durian, Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Disini ada hal yang menarik yang mungkin tak jarang diketahui oleh banyak orang. Salah satunya cara mengupas kelapa dan mengikatnya menjadi berpasangan.
Cara mengupas kelapa dengan alat (Selundupan)

 Memang kelihatannya mudah, namun setelah mencobanya ternyata sulit untuk melakukannya. Butuh tenaga ekstra dan perlu kehati-hatian untuk melakukannya agar tidak terkena jari kita. untuk mengupas satu buah kelapa aku menbutuhkan waktu 5menit lebih. sedangkan bapak itu kurang dari satu menit sudah selesai. begitu juga untuk mengikat buah kelapa menjadi berpasangan (satu gandeng) juga sangat sulit. bukan hana sekedar kuat tetapi panjang sisinya juga harus sama sehingga untuk disusun atau digantung lebih seimbang.
setelah itu kami sekeluarga belanja ke tempat pelelangan ikan (TPI) pantai labu.
Seorang agen yang mejual tangkapan nelayan di TPI
 disini para nelayan yang melalut menjual hasil tangkapannya ditempat ini. kemudian ada agen atau perantara yang menampungnya dan kemudian perantara tersebut menjualnya lagi ke pengecer atau pedagang ikan keliling yang biasa berjualan dipusat pasar, atau keliling diperkampungan.
aku menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang dengan nelayan yang menjual hasil tangkapannya ke TPI tersebut. dari hasil percakapanku dengannya aku mengetahui bahwa ia sudah melaut selama 5 tahun. berawakan 3 orang, dan masih menggunakan peralatan sederhana yaitu jaring dan mata pancing. namun dengan peralatan yang sederhana tersebut mereka sekali melaut secara normal mampu mengantongi Rp 100.000,00. Dalam seminggu mereka dapat melaut sekitar 5kali. jadi saya memprediksikan penghasilan rata-rata mereka secara normal berkisar 2juta perbulan.
selesai percakapan dengan nelayan tersebut, saya berjalan-jalan di pinggiran aliran sungai tersebut. melihat suasana dan aktivitas warga di perumahan nelayan tersebut. ada yang sedang mempersiapkan jaring untuk pergi melaut dan ada juga yang sedang membersihkan jaring setelah melaut. Dari situ baru aku bisa membedakan perahu-perahu mana yang hendak melaut dan mana yang sudah atau selesai melaut. kemudian pandanganku mulai tertuju pada suatu kandang yang berisi 4 ekor burung.
Burung yang bernasib malang
 aku tak tau pasti burung jenis apa namun aku merasa kasihan dengan nasib burung tersebut. yang seharusnya ia bisa terbang bebas menikmati ruang gerak yang bebas dan luas serta mencari ikan dipinggiran pantai.
begitu asyik aku rasa mengamati kehidupan masyarakat pesisir tersebut sampai aku tak menyadari bahwa matahari mulai menenggelamkan sinarnya.
suasana sunset di muara sungai
namun kehidupan disitu justru makin ramai. banyak warga yang sedang mengangkat tong-tong yang berisi air. ternyata air di sini rasanya payau dan lengket dikulit. sehingga mereka harus mengantri untuk mengambil air bersih yang berasal dari PAM PDAM Tirtanadi Medan. dan aku juga melihat warga juga masih memancing dipinggiran sungai.
warga yang memancing di senja hari

begitu kontras kehidupan disini dengan kehidupanku biasanya. dari sini aku belajar betapa beruntungnya kehidupanku. semestinya aku harus bersyukur dengan apa yang kumiliki sekarang. karena disetiap tempat, dimanapun lokasi dan bentang alamnya pasti memiliki keunggulan dan kelebihan. walaupun disini aku tidak menggambarkan secara terperinci kehidupan nelayan karena pada awalnya aku hanya ingin menceritakan kisah perjalannanku. namun karena terbawa suasana yang smpat mengalami tinggal dipesisir pantai dalam rangka kemah kerja (bakti sosial) bersama organisasi dikampus, aku merasa begitu menderita sampai-sampai aku menceritakannya mulai melebar. tapi intinya aku hanya berbagi cerita dan mudah-mudahan cerita tersebut dapat bermanfaat bagi pembaca. amien...