Aku malu, aku merasa hina dan begitu sedih. keceriaan berlalu begitu cepat, berganti dengan wajah yang senduh.
Hal itu bermula ketika aku mulai membuka media social yang sudah lama aku abaikan. Aku melihat teman - temanku, masih begitu giat dan peduli terhadap nasib mereka warga pengungsi erupsi G. Sinabung. Baik itu para fotografer, pers, komunitas motor trail, sepeda gunung dan bahkan komunitas yang aku anggap alay pun mereka juga masih peduli dengan mereka.
Hal lain yaitu ketika melihat foto - foto terbaik versi TIME kebanyakan menggambarkan kondisi foto tragedi, bencana ataupun huru - hara yang terjadi di belahan bumi ini. http://lightbox.time.com/2013/12/02/time-picks-the-top-10-photos-of-2013/#2 dan satu yang paling memukul hati yaitu ketika aku mulai merasakan suasana makan bersama ala survive di tengah kota.
Aku makan bersama kawan - kawan yang telah menggantikan posisi keberadaanku. aku mendengar cerita mereka, merasakan betapa bahagianya ketika mendapatkan rahmat ilahi yang entah datang darimana. Aku paham, aku mengerti, kondisi seperti ini sebenarnya adalah pilihan. selain kondisi survive kami juga harus menerima tekanan dari rasa tanggung jawab yang semakin hari semakin bertambah beratnya di bahu. Namun kami tetap tak pernah lari dari kondisi seperti itu.
aku malu pada diri sendiri karena aku telah terbuai dengan kenikmatan duniawi ini. aku tak lagi peduli dengan mereka. aku tak perduli lagi dengan kawan - kawan yang telah menggantikan posisiku sebelumnya. aku sibuk dengan kehidupan pribadiku dan kesenangan dalam melihat eksotisme alam ini.